DEAR JAKARTA



DEAR JAKARTA

By: Meyrist Situngkir



 TERKADANG HATI KITA SEPERTI GEDUNG GEDUNG JAKARTA, BERDAMPINGAN NAMUN ENGGAN SALING BERSENTUHAN














Setiap nama yang ada dalam buku ini, ini adalah kisah kita

Terimakasih yang tak terhingga untuk Sang Maha Pemberi inspirasi, Tuhan yang selalu mengirimkan kekuatan dan sumber berkat yang tak habis habisnya,pengirim  keajaiban keajaiban kecil manis yang tak habis untuk selalu disyukuri.
Terimakasih yang tak kalah besarnya, sang penyemangat yang luar biasa, kedua orangtuaku yang selalu mampu membuatku mengucap syukur, punya orangtua yang punya energi dan hati seluas samudera mensupport segala kekuranganku, setiap kali mengingat aku belum mampu memberikan yang terbaik, airmataku senantiasa menetes deras.
Adik adikku Andos Situngkir, Wendika Situngkir dan Andryan Situngkir, meski aku kadang gagal menjadi kakak yang baik, tapi kalian sudah berhasil menjadi adik adik yang luar biasa, terimakasih sudah menerima kekuranganku sebagai seorang kakak.
Andri “Aliong”, thanks for the support..thanks kesabarannya menghadapiku yang sering marah-marah ;)
Raja Simarmata, Peri Turnip, semoga sukses dengan cita citanya membangun desa kita tercinta, sukses dengan Samosir dan Tobatik. I’ll always support you..!!
Tulang Marolop Manik, thanks atas kepedulian dengan segala keterbatasanku, terimakasih untuk supportnya yang luar biasa...
Buat sahabat sahabat  terbaikku, Vivi Iskandar, Hendrik Lie, Emse Marbun,  Patricia Caren, Pak Bobby, Rina Okavianingsih, Yudi
The best all SIMARMATA FAMILY, tanpa kusebutkan satu persatu, aku yakin kalian semua tahu, All of you called LOVE…I LOVE YOU, FAMILY..
Buat semua teman teman yang namanya ada dalam novel ini, sekali lagi ini kisah tentang kita. Buat Dinda, Manis, Hendrik, Rena, mas Arwi, pak James, mas Arif, Bu Asih, pak adam, pak Riduan, Nellyana Sukri, Bunda Anna, Moza, Mario, Kiky, Pandu, Eno,  dan masih banyak terimakasih sudah membuat hidupku penuh warna selama di Jakarta.
Buat para penderita gangguan syaraf seperti aku, sebagian dari hasil penjualan buku ini akan aku donasikan sebagai bentuk kepedulianku.





DARI MEYRIST

Awalnya tidak terpikirkan untuk menulis kisah pribadi menjadi sebuah novel. Sudah lama sekali sejak tahun 2007, novel perdanaku berjudul “I’m Virgin” terbit.
Dari writer block, masalah demi masalah, sampai penyakit yang bernama “kemalasan” yang harus dijajah…satu hal yang pasti, special spirit from all of you makes me though…
Dan kisah ini kubawa disebuah sudut metropolitan yang katanya kejam dan tidak bersahabat, dari sebuah kota yang aku pernah berjanji hanya akan menjadikannya sebuah “Selingkuhan”, karena aku merasa “cinta sejatiku” hanyalah SAMOSIR, dan pada “cinta pertama” yang bernama kota YOGYAKARTA.
Seperti halnya cinta, kamu tidak akan pernah bisa menebak pada arah mana akhirnya kamu akan jatuh cinta sampai menemukan titik dimana kamu akan berhenti untuk singgah….
DEAR JAKARTA, ini tentang cinta pada JAKARTA, cinta kepada senyawa dan sesama
Dan buku ini akan menjadi cita cita sosial saya untuk berbagi kepada sesama
SEMOGA….


Sambil dengar “A Thousand  Years” Katy Perry ;)
Awal tahun, 2015








PART I
Sebuah sudut bernama Jakarta

2012, akhir juni
Di sudut lantai dua Solaria, hujan masih mengirimkan sisa sisa tetes airnya. Mengetuk ketuk halus seperti kapas kapas kecil yang ditumpahkan dari langit. Kaca tampak bertetesan hujan, masih basah. Aku menikmati, meski tak terlalu menyukainya, aku jelas tak suka hujan…sudah hampir dini hari, matahari sore jelas sudah kembali ke pusarannya. Kembali tidur, dan besok pagi akan terbangun lagi dengan sinarnya yang cerah..
Disini aku sekarang, di Kota Jakarta, tepatnya bandara Sukarno Hatta. Masih tetap bising dan padat meski sudah sangat larut malam.
Benar yang sering diceritakan orang, Jakarta adalah kota yang nyaris tidak pernah terlelap. Selalu ada semburat aktivitas tanpa henti, beberapa petugas bandara beraktivitas dan mungkin ada yang sedang beristirahat. Yang jelas, mereka tak sendirian seperti aku sekarang ini…hatiku hampa dan dingin, sedingin suasana malam ini.
Dua jam yang lalu aku masih di kota Medan, tepatnya enam jam sebelum ke Medan menuju bandara Polonia, aku masih di Samosir.
Samosir adalah tempat tinggal masa kecilku, tempat yang menyisakan goretan goretan yang tak bisa diabaikan, sejuta musim kulewati disana, marah, sedih, tertawa, susah dan senang. Tempat dimana kedua orang tuaku saling jatuh cinta, mengikrar janji hingga aku dan ketiga orang adikku jadi saksi sejarah, betapa kedua orangtuaku adalah sebuah harmoni yang nyaris tanpa riak badai yang besar, meski kerikil kerikil kecil pasti selalu ada.
Adalah orang tua yang mengajari kami tanpa tangan besi seperti yang kerap dilakukan oleh orang tua lainnya kepada anak anaknya, terutama ibu yang dalam bahasa batak lazim dipanggil oma. Sementara kalau di bahasa Indonesia, oma itu cenderung ditujukan pada oppung atau nenek..
Aku tersenyum sejenak mengingat bagian kecil dari memoriku, tentang cara ibu mengasihi dan mendidik kami.
Kami terdiri dari empat orang bersaudara, sebenarnya ada sembilan bersaudara, tapi sebagian meninggal saat masih kecil dan kami masih sempat menikmati kasih sayang berlima, sebelum sebuah penyakit bernama epilepsy menyerang adik perempuanku saat masih berusia 17 tahun.
Peristiwa paling menyakitkan dalam hidup kami,  menyisakan luka yang belum usai hingga kini. Andai saja waktu bisa diputar kembali, banyak kesalahan yang ingin kuperbaiki dengan gadis manis bernama Martohap oktaviyanti itu…
Entah mengapa pada saat hujan begini, aku tiba tiba jadi sangat melow, airmataku menetes pelan. Memoriku seolah diputar kembali ke masa lalu, aku tak kuasa membekukan atau menolaknya…
Hujan masih bergerak pelan pelan merayap di kaca, malam sudah sangat gelap gulita, tapi tidak sepi. Hingar bingar dan suara pesawat masih riuh kedengaran.
Hpku sudah lowbat, baru saja aku hendak mengabari ibu bahwa aku sudah sampai di Jakarta.
Nasi goreng dihadapanku masih tersisa setengah, namun aku tak bernafsu lagi untuk menghabiskannya. Seolah rasa lapar tak mampu mereduksi keinginan otakku untuk menikmati makanan yang ada dihadapanku. Aku masih hampa…..
Mataku menatap nanar ke sekeliling, mencoba menikmati aura orang orang yang ada disekelilingku, disebuah sudut aku melihat sepasang kekasih saling berbisik mesra, tertawa seolah dunia yang lain ngontrak, isinya cuma mereka berdua. Sesekali si cowok mencium kening pacarnya, aku mengalihkan pandangan. Tak elok rasanya memelototi sejoli itu, hadeuuh..
Disebelahku sepasang suami istri, kadang suaminya merangkul istrinya dan terlihat bahagia. Aku jadi merasa seperti dikutuk berada ditempat ini, sendirian ditengah tengah orang yang didampingi oleh orang orang yang dicintainya. Kepalaku mulai berdenyut, sakit dan pening.
Nelangsa dan kesepian…
Apa mereka benar benar sebahagia itu?, apa mereka benar benar tidak punya masalah atau berusaha agar tak terlihat punya masalah?, aku membiarkan saja pertanyaan pertanyaan rada tak penting itu memutari otakku.
Hujan, deras lagi….
Entah mengapa, aku selalu merasakan rasa yang kontradiksi pada tetesan air yang mengirimkan rasa dingin ini.
Aku benci hujan kadang kadang, karena selalu mengirimkan rasa sakit tanpa sinyal dikepalaku. Selalu tiba tiba hadir saat aku jatuh cinta dengan tetesan tetesannya yang menitik turun dari langit.
Aku selalu merasa seperti dipeluk oleh sebuah rasa yang meski tak hangat, namun ajaib dan membuat tenteram.
Apalagi di Samosir, aku selalu suka menatap hujan dari jendela rumah batak peninggalan oppungku, alm boru Manik. Seolah mengirimkan kedamaian, airnya bergerak gerak dengan lincah diantara rumput yang menghijau, sebuah pesona tersendiri yang jelas tidak akan ada di Jakarta.
Pukul 3.00 dini hari, sudah mulai sepi…beberapa pasangan tadi sudah tak kelihatan, hanya ada beberapa waitress yang tampaknya juga sudah siap beres beres. Aku tak enak sendirian ditempat ini, aku linglung sejenak…kemana aku sepagi ini?, aku masih terlalu pagi untuk tiba di tempat kostnya temanku, Lenny di daerah Cawang, Jakarta Timur.
Otakku berputar cepat, yang jelas aku tidak akan menunggu di bandara hingga pagi.  Aku memanggil taksi.
“Kemana, mbak?”, supir taksi yang kulihat di kartu identitasnya bernama Samijo.
“Ke MC Donald’s aja mas Samijo..”,aku dengan nada sok akrab, supir taksinya sedikit menunjukkan ekspresi kaget aku menyebut namanya.
“Emang dari mana mbak?”, nadanya berubah ramah
“Dari Medan..”, aku menyahut sambil menyentuh kaca yang basah bekas air hujan.
“Ooo, batak toh..”, aku mengangguk meski dia tak melihat.
Aku akhirnya sampai juga di MC D, pasar festival, satu satunya tempat nongkrong yang aku hafal di Jakarta. Aku menunggu sambil memesan burger,agak mahal untuk ukuran kantongku, tapi aku butuh rasa aman untuk menunggu pagi.
Aku mendesah panjang, aku diliputi rasa dingin kembali. AC-nya sangat tidak bersahabat dengan tubuhku, tetapi aku tidak punya pilihan destinasi lain.
Para pengunjung sudah pada pulang, sepi, tinggal aku sendirian. Waiter mulai sibuk berkemas dan membersihkan meja meja, merapikan bangku. Tapi aku bersyukur ini tempat nongkrong anak muda, 24 jam.
Sekilas aku teringat, batere hpku lowbat. Aku mencari colokan buat mencharger hp nokiaku, wajahku aku tahu sangat lelah, sangat ingin tidur sebenarnya.
Hampir dua jam aku menikmati kesendirianku di restoran waralaba tersebut, penat semakin berpendar tak mampu terhindarkan, badan ngilu semua efek kurang tidur dan kurang istirahat. Huuh…kejamnya kenyataan, kenyataan dimana aku sangat ngantuk kontradiksi dengan lamunanku tentang sebuah kamar nyaman sambil memeluk guling empuk..nasiibb
Matahari pelahan mulai memperlihatkan wujudnya, udara Jakarta masih segar belum terkena polusi, aku melangkah naik tangga halte menuju busway. Masih sepi, masih aku satu satunya calon penumpang. Aku menguap lebar lebar, menggerakkan badanku ke kiri dan ke kanan, ada suara kecil dari tulangku, aku benar benar kelelahan membawa tasku. Di Samosir, mau pagi, siang, sore, malam, udara tetap bersih tanpa polusi, maklum disana tidak ada kendaraan berknalpot yang mengeluarkan polusi, tidak ada angkot, dan tidak ada kemacetan. Masih sangat desa….karena memang desa.
Matahari mulai menampakkan sinarnya, masih malu malu memperlihatkan wujudnya, aku bergerak cepat. Tempat kost Lenny, adalah destinasi selanjutnya.
Lenny adalah teman sekampung dari Samosir, teman dengan kesamaan nasib, sama sama jomblo akut dan dengan fisik yang lemah. Tapi, sometimes…kadang aku merasa diriku lebih tangguh dari gadis itu.
Tempat kost Lenny berada didalam gang kecil, di belakang kampus UKI, dekat HKBP, gereja berukuran lumayan besar yang terkenal namanya dengan gereja “jodoh”, ah aku tidak tahu benar atau tidak, apakah karena di gereja tersebut muda mudinya sering menemukan jodohnya, entahlah….
Lenny, menyambutku dengan hangat. Kami larut dalam nostalgia masa lalu, masa masa kecil, masa masa SMU…meski tinggal di desa kecil di Samosir, masa kecil dan masa remajaku renyah.
Aku sempat tertidur beberapa jam, karena masih kelelahan.
Aku membaca dua pesan singkat di hpku.
Mas Arwi….
Dialah alasan utamaku berada di Jakarta sekarang.
Lelaki tambun yang mengaku masih berdarah Jerman itu mengajak ketemuan di daerah Cikini, katanya ada pertemuan World APS day. Pertemuan orang orang yang memiliki penyakit APS (Antiphospholipid antibody syndrome), aku sendiri sebenarnya tidak terlalu familiar dengan jenis penyakit ini.
Namun sedikit banyak aku tahu dari Mas Arwi, itu merupakan gangguan pada system pembekuan darah yang dapat menyebabkan thrombosis pada arteri dan vena  serta pada orang yang hamil rentan mengakibatkan keguguran.
Dalam smsnya mas Arwi mengabarkan akan ada 50 orang peserta para penderita penyakit APS, dan dihadiri oleh artis Edo Kondologit.
Pagi harinya aku meluncur ke rumah sakit cikini, setahuku rumah sakit tersebut merupakan salah satu rumah sakit tertua di Indonesia.
Bangunan bergaya gothic tersebut dulunya adalah milik seorang penulis naturalis, Raden Saleh. Berhubung karena aku masih ogah naik busway, aku memilih naik kopaja. Kepalaku agak nyut nyutan melihat orang bejibun antre di halte busway. Maklumlah biasa dikampung..
Aku berdiri disebelah gedung didekat satpam, aku melirik sekilas ke café yang disebutkan beliau. Tidak ada tanda tanda keramaian, apa aku yang datang terlalu cepat, atau mas Arwi yang salah member I informasi. Aku telepon, hpnya tidak diangkat…aku nyaris putus asa. Aku coba bertanya ke satpam, satpamnya juga bingung. Seingatku kalau di hotel hotel kalau ada event yang melibatkan acara untuk puluhan orang, mereka pasti tahu. Di rumah sakit juga pasti begitu…
Aku nekad, coba masuk ke dalam kantin cikini, mataku jelalatan mencari cari, hanya ada tiga orang ibu ibu dan seorang bapak bapak gendut memakai sarung, tapi…heiii, aku familiar dengan wajah itu, wajah yang belum pernah kutemui sebelumnya namun akrab dipandanganku. Dia kan..?
Aku langsung mendekat, mas Arwi tersenyum kalem, sekilas mataku mengintip ke kakinya yang terlihat mengalami pembengkakan.
“Hei Mey, ini teman teman kita..”, aku menyalami ketiga ibu muda berhijab tersebut.
“Hanya segini?”, spontan dari mulutku, tiba tiba merasa bersalah. Aku mendadak merasa diriku tak sopan.
Sekilas mereka terlihat normal, kecuali mas Arwi yang memang jelas kelihatan kondisi fisiknya sakit. Dalam hatiku ada membuncah keraguan, “Benarkah dia produser film?, benarkah dia akan membantuku mewujudkan mimpiku?, menjadi penulis skenario..”, ada segurat keraguan itu.
“Ehm..jangan melihat dari jumlahnya, kita secara keseluruhan penderita APS ada sekitar 50 orang, tapi hari ini banyak yang tidak bisa datang”, mas Arwi mencoba meyakinkanku.
“Hmm…”, aku hanya mendesah panjang.
Aku diperkenalkan dengan dua ibu berjilbab, mbak dewi dan mbak nadia. Disebelah mas arwi, ada sesosok pria berkulit hitam manis, tegap, sekilas tak ada yang istimewa  dengan tampang itu namun kelak aku akan tahu dia adalah musisi hebat, namanya Tito.

Usai dari Cikini, mas Arwi dengan langkah terseok mengajakku ke Duta Merlin, itu daerah perkantoran di Harmoni.
Kami naik taksi menuju kesana, beruntung mas Arwi yang suka bicara berhasil meredam kekakuan sejenak, aku yang sedikit pendiam agak susah membuka pembicaraan.
“Aku ingin mengajak kamu ke suatu tempat, kamu pasti suka…”,
Aku hanya mendesah nafas panjang, satu satunya hal yang aku suka cuma menulis dan cita citaku dari dulu hanyalah menjadi penulis. So simple…
Pabila tersayang, jatuh dipangkuan
Tiada keinginan, hatiku menyayang
Hatiku menyayang selain dirimu…
Pabila tercinta, inginkan pelukan
Akan kuberikan padamu seorang semampu diriku.
Lagu “Takkan habis cintaku” Lingua mengalun keren dari radio taksi, aku menikmatinya. Mas arwi tersenyum. Aku mendadak risih.
“Suka lagunya, dik?”,
“Suka..”, aku mendadak ingin jaga jarak, entah mengapa. Naluriku menangkap sesuatu…
“Mas, sih kalau punya pasangan, ingin seperti lagu itu..”, “Ehm, kok jadi bahas itu sih?”, galau akut.
Mas Arwi bertubuh super tambun, aku menduga  berat badannya diatas 100 kilo lebih, kepalanya botak plontos dengan wajah yang sangat bulat, dan punya hobi unik, pakai sarung kemana mana. Jadi ingat bapak kalau pulang dari sekolah di Samosir, suka pakai sarung.
“Mey, sudah punya pacar?”,
“Sudah”, aku menjawab dengan nada innocent.
“Anak mana?”,
“Sekampung..”,
“Kerja dimana?”, Mas Arwi tampak menatap wajahku perhatian.
“Di Poso, polisi..”, aku bohong namun tidak kentara. Aku memang sedang dekat dengan seseorang dari Poso, tapi dia bukan pacarku, hanya dekat…dekat lebih..aku agak bingung mendeskripsikan bentuk hubungan kami seperti apa. Kami tak pernah lebih dekat dari sebuah hubungan dunia maya, yaapp dunia maya, tapi doi intens menelponku, bisa sampai berkali kali dalam sehari. So salah siapa kalau saya mulai geer?.
Damn, cowok dari poso itu menelpon. Waktunya tepat…
“Lagi dimana kamu?”, aku sengaja loudspeaker.
“Lagi dihati kamu…”, Ekspresi mas Arwi agak berubah, dan jahatnya…aku menikmatinya.
“Padahal aku suka kamu lho, dik..mungkin nggak sih kamu bisa nyoba pacaran dengan aku juga?”, aku tertawa garing, “Enggak deh mas, makasih”.
Ternyata perkantoran Duta Merlin, tidak terlalu jauh dari RS Cikini, hanya berkisar dua puluh menit.  Taksi berhenti tepat didepan Blok F, kelak akan menjadi kantor pertamaku selama di Jakarta.
Kami berhenti disebuah kantor berlantai tiga, mas arwi langsung menuju ke lantai dua. Aku diperkenalkan dengan seorang marketing iklan, mas Yudi dan owner dari kantor itu sendiri, Pak Sihombing.
Pak Sihombing berusia seputaran 60 tahun, wajahnya khas batak, garis rahangnya tegas dengan sorot mata tajam, kulitnya hitam dan rambutnya mulai dipenuhi uban.
Mereka diskusi sejenak, mendiskusikan berita yang akan masuk deadline.
Aku hanya menyimak, mas Arwi hampir lupa memperkenalkan aku.
“Ini, teman baru datang dari Medan, tadinya mau saya jadiin calon bini, tapi doi ngga mau..hehehe”, mas Arwi dengan nada setengah bercanda.
Mas Yudi terlihat nyantai didepan layar computer dihadapannya, “Kita lagi butuh berita cepat, kita lagi deadline”.
“Oh ya, Mey bisa menulis nih..”, mas Arwi. Pak Sihombing menyambut hangat. “Oh, boleh, kita selalu menerima orang orang yang potensial”, aku sedikit sebal dengan percaya dirinya mas Arwi..
Tunggu dulu…
Aku ke Jakarta, menjadi penulis scenario. Bukan menjadi wartawan tabloid politik yang hampir bangkrut.
Menurut cerita Pak Sihombing, tabloid yang bernama Gaung Demokrasi itu sudah dibangun sejak 15 tahun yang lalu, dan selama terbit hanya menghasilkan enam puluh edisi, bayangkan dalam setahun berapa edisi yang sebenarnya terbit. Pak Sihombing mengaku ego dari investor dan ketidaksepahaman visi dari para owner seringkali berakhir menjadi konflik dan mengakibatkan terhentinya produksi tabloid ditengah jalan.
Pak Sihombing sekilas menambahkan “, Tapi kali ini tidak usah takut, kita sudah punya donatur yang benar benar yang sevisi dan punya dana yang cukup untuk menalangi ongkos produksi. Apalagi sama sama halak hita, dia tidak mungkin aneh aneh..”, menatap mataku tajam seolah berusaha meyakinkan kalau pilihanku bergabung di kantor ini tepat.
“Tapi…”, aku hendak membantah. Sekali lagi, aku menerima tantangan mas Arwi ke Jakarta untuk menjadi penulis skenario film, bukan menjadi jurnalis. Apalagi aku hanya punya pengalaman menulis artikel, bukan menjadi pencari berita dilapangan.
“Mey, terima saja dulu. Nanti soal kerjaan lain kita bisa sambil…lagipula menulis dibidang politik adalah nafas hidupku, coba saja dulu, pasti ketagihan..”, mas Arwi membujuk.
“Bergabunglah disini nak, aku kan bapakmu disini, seorang bapak tidak mungkin memberikan yang buruk kepada borunya,” bujukan Pak Sihombing meluluhkan egoku.

Seminggu bergabung di Tabloid Gaung Demokrasi, aku mulai merasa nyaman dengan atmosfir kantorku. Ada Mas Arief yang sangat jawa medok tapi cerdas, dan sangat humanis, benar benar mencintai dunia menulis dan politik, menulis adalah jiwanya, dan bukan karena uang, sangat idealis. Ada mas Bimo, bagian periklanan yang berkacamata, mirip Afgan, kami selalu menyebutnya Afgan kw, selain mas Yudi tentunya.
Awalnya Mas Arief, terlihat sangat pendiam dan berwibawa, aku agak segan mengajaknya ngobrol, namun ternyata setelah kenal lebih dekat, orangnya cair dan sangat suka becanda.  Dan boru batak dengan tampang jawaku lah yang sering menjadi bahan ledekannya.
Mas Bimo juga sama, sekilas terlihat pendiam dan terkesan “mahal”, ternyata tidak beda dengan Mas Arief, doi biangnya ngocol. Ada satu lagi OB yang bernama Apri, juga suka melucu.
Aku menikmati suasana kerja yang  dipenuhi rasa memiliki dan kekeluargaan, kecuali Mas Arwi yang kemudian aku memiliki segudang cerita tak menyenangkan tentangnya.
Ternyata, Mas Arwi hanyalah orang yang suka ngibul, doyan ngomong besar namun selalu mampu membius orang orang yang tidak pernah mengenal dia sebelumnya.
Dan bermula dari Tito, yang menelponku…
“Kamu sudah lama kenal Mas Arwi?”,
“Baru saja…”, aku menjawab sekenanya.
“Pasti korban rayuannya juga kan?”, aku langsung mendadak tidak nyaman dengan kalimatnya.
“Maksudnya?”,
“Arwi, itu suka menjanjikan hal hal yang absurd apalagi pada cewek, dia selalu mengaku produser film, sedang butuh artis, sedang butuh penulis, pada akhirnya tidak ada apa apa, dia itu tidak punya apa apa, kamu mungkin termasuk beruntung karena masih bisa dapat kerjaan lain, di tempatku ada dua orang gadis yang luntang lantung karena ulahnya dia..”,
Damn, for the first time I wanna kill him…oughh, semoga dia belum pernah menonton film “Lying for perfect”, karena ada quotesnya si pemeran utama yang sangat mengena. “How can you lying from the start..”.
Aku langsung menghadap Mas Arief, “Mas, mas arwi itu orangnya kayak gimana sih?”, Mas Arief hanya menjawab bijak “, Nanti seiring berjalannya waktu, mbak Mey akan tahu, tidak perlu dari saya…intinya nikmati yang baik saja selagi tidak menyakitkan untuk mbak Mey”, aku hanya terdiam menghela nafas.
“Aku tidak butuh kamu untuk jadi penulis skenario, aku akan mencari dengan jalanku sendiri”, janjiku membara. Merdekaaaa
Edisi pertama semenjak kantor Gaung Demokrasi dibuka mulai siap dipasarkan, Mas Arwi menunjukkan tulisanku yang dimuat di tabloid “, Tulisan kamu lumayan..”, nadanya sok berwibawa. Dalam hatiku kesal “, Huuh, mau bilang bagus saja gengsi banget..”, dan jujur, aku kagum sendiri membaca tulisanku dimuat di tabloid. Sebelumnya aku hanyalah penulis fiksi di sebuah harian di Medan, lumayan honornya 150.000,-.
Lama kelamaan kantor mulai diramaikan oleh karyawan karyawan baru, ada Mbak Asih yang manager keuangan, dan Ratih Karnelia yang jadi sekretaris redaksi. Terakhir masuk ada Mas Priyo dan Mas Donny Suryono.
Didepan kantor, kami memiliki warteg langganan warung Sunda, dan juga langganan “catatan” kalau isi dompet mulai menipis. Biasanya Mas Arief dan Mas Bimo yang bertugas untuk urusan “catatan”, dan mereka berdua sangat gentle, tidaK pernah membiarkan kami para kaum hawa kelaparan. Selalu berusaha mentraktir meskipun pada akhirnya “tagihan akhir bulan” membengkak.
Biasanya bon kami selalu dimasukkan ke “catatan” Mas Arief atau Mas Bimo, namun ada satu peristiwa lucu, yang biasanya tagihan paling banyak 200 ribu, tiba tiba membengkak jadi 600 ribu. Usut punya usut, ternyata si gendut “Arwi” ikut nebeng…hehehe
Mas Arief seperti biasa, tenang dan bijaksana meskipun aku tahu dalam hatinya memendam kesal. Mas Bimo yang mencak mencak.
Mas Arwi memang biangnya makan, pantas saja badannya over weight begitu..
Kalau makan langsung pesan nasi dua porsi, soto tangkar, sate, gulai, es teh manis dan juice, dan catet…tidak pernah cash, selalu ngutang.
Kami sering geleng geleng kepala dibuatnya.
Aku mendadak review kembali awal mula pertemuanku dengan sosok ini di dunia maya, dia meng-add aku di facebook.
Aku melihat riwayat pekerjaaanya yang cukup meyakinkan, mengaku produser film yang sedang mencari naskah yang bagus buat film filmnya.
Aku memang terkecoh, dia selalu mengerjakan naskah naskahnya di warnet, awalnya aku mengira itu adalah bentuk idealismenya dia dalam bekerja.  Aku ingat bahkan seorang W.S Rendra sekalipun bisa bekerja didalam penjara dan menghasilkan karya yang bagus, lalu apa yang salah dengan idealism?.
Aku juga ingat, waktu di Yogya dua tahun lalu…untuk mendapatkan tulisan yang bagus kadang aku menyamar jadi pemulung atau jadi pembantu. Dedikasi terhadap tulisan biasanya membuat kita rela melakukan apapun.
Berhubung aku sudah menjadi penghuni perkantoran Duta Merlin, maka aku memutuskan untuk mencari tempat kost didekat kantor. Dibelakang kantor, ada perkampungan lumayan kumuh dan sempit,  harga kos kosan sangat bersahabat. Dan aku hanya butuh sekedar tidur karena dikantor sendiri juga jam kerjanya tidak bersahabat, aku bisa 24 jam di kantor dan di lapangan.yaa..dunia wartawan memang seperti itu.
Lapangan adalah kantor yang sesungguhnya. Deadline, mengejar narasumber, mengikuti demo buruh menjadi hal makanan sehari hari. Dan aku jatuh cinta dengan aktivitasku.
Kantor sudah menjadi rumah pertama selain tempat kostku.
Aku jarang pulang ke kost, lebih sering nginap di kantor.
Ada kejadian unik di kantor, pada umumnya teman teman percaya bahwa kantor tabloid Gaung Demokrasi yang berlantai dua ada penghuninya. Menurut mitos yang berhembus, di kantor ada dua orang penghuni yang tinggal, menurut bu Asih, manager keuangan, dua duanya baik hati selama tidak diganggu, namun tak urung membuat para penghuni kantor geregetan. Bahkan mas Yudi yang badannya kekar dan macho pun kalau mau ke kamar mandi harus di temani, begitu pula mas Arief dan mas Afrgan, semangat boleh membara kalau mencari berita, tetapi nyali langsung ciut begitu urusan ke lantai dua.
Alias ke kamar mandi, uniknya akulah yang sering menjadi penjaga di depan pintu kalau mereka masuk ke toilet.
Mas Arief dan mas Bimo, yang sering berjaga di kantor, mengaku sama sama penakut. Akhirnya Pak James, direktur eksekutif menyuruh aku menemani mereka tidur di kantor. Lucu juga…
Mas Arief dan mas Bimo tidur diruang redaksi dilantai bawah, sementara kalau malam aku tidur diruangan kerja Pak James di lantai dua. Mungkin karena dari kecil aku sudah terbiasa dengan daerah yang sepi, aku tidak merasa ketakutan sedikitpun. Walaupun hampir semua teman teman mengaku pernah di ganggu oleh makhluk makhluk halus, aku belum mengalaminya samasekali.
Dulu  waktu SMP, aku tinggal disebuah rumah kecil di pinggir danau toba. Benar benar sepi karena hanya ada rumahku, dan sebuah rumah lain berjarak kurang lebih 50 meter. Kalau ada acara pesta diluar kota, aku sering ditinggal sendirian dirumah. Sementara adik adikku menginap ditempat tulang yang berjarak 100 m dari rumahku.
Kadang kadang, kalau tidak bisa tidur, aku jalan sendirian mengitari komplek perkantoran Duta Merlin yang memang angker kalau malam. Kadang nongkrong di depan tukang kopi yang kerap menjadi langganan, kadang ngobrol di tempat satpam sambil bercerita tentang dunia Jakarta. Kadang kalau aku nongkrong di tempat ngopi, aku melihat cewek cewek berbaju tank top dan rok mini, berdandan menor sedang menunggu “klien”. Walaupun aku perempuan, tentu saja orang tidak menganggap aku sama dengan bagian dari mereka, siapa coba yang mau “transaksi” dengan gadis tampang biasa, badan lumayan over weight dan pake sandal jepit?, hehehe..
Kata Mas Arief, mereka para gadis gadis malam itu, punya mess di sebelah kantor. Hmm, pantes saja, mobil tetap rame meskipun jam kantor tentu saja sudah lama berlalu.
Rupanya mereka, magnet yang kuat untuk membuat para lelaki nakal tidak pulang ke rumahnya masing masing.
Menurut Mas Arief juga, mereka ada yang awasi. Jalan dengan siapa dan pulang ke “rumah” jam berapa.
Jadi ingat, di Medan, meski masih termasuk kota ke tiga terbesar di Indonesia. Aku belum pernah menemukan fenomena seperti ini. Atau apa zaman dulu, aku masih lugu?.
Beberapa ratus meter di depan kantor, di dekat Carrefour, ada beberapa orang penjual kopi dan kuliner khas yang biasa dijual di malam hari,seperti nasi goreng, sate,ketoprak dan yang lainnya. Ada sebuah kardus kecil yang ditumpuk jadi tempat tidur. Ada seorang nenektua renta yang sehari harinya berjualan asongan tidur disana, tidak punya tempat tinggal..duuuh, rasanya miris setiap kali melihatnya, tidur beratapkan langit dan bahkan selimutpun tidak punya, apa penghasilan sehari harinya tidak cukup untuk bayar sekedar punya tempat kost?, bahkan sekelas tempat kostku yang berdinding triplek yang harganya hanya 150 ribu. Aku jadi berterimakasih pada Tuhan. Orang tuaku meski sederhana, masih bisa tidur nyenyak kalau malam hari, masih bisa makan secukupnya, dan aku percaya masih dicukupkan rezekinya oleh yang di Atas.
Kadang kadang Mas Arief sedikit nakal, suka mengajakku berkeliling ke daerah Gajahmada, kita sering berhenti dipinggir jalan memarkirkan mobil kantor, menyaksikan gadis gadis muda dengan pakaian seksi “mempromosikan dirinya” di pinggir pinggir jalan.
“Kasihan yah mas Arief, padahal kalau mereka mau hidup normal, mereka pasti bisa. Cantik cantik gitu, kalau misalnya mereka cari pacar atau pasangan yang mapan, mereka pasti dapatlah. Toh bukankah biasanya, dengan menjadi cewek cantik setengah masalah sudah selesai..”, aku pernah nyeletuk.
“Maksud mbak Mey apa?”, Mas Arief sedikit mengernyitkan kening.
“Ya, dalam hidup, kadang diskriminatif, dibanding orang bertampang biasa seperti aku,  cewek cantik lebih dapat prioritas..iya nggak?, kalau mencari pekerjaan,nyari pasangan hidup, pasti lebih mudah..”.
“Nggak juga Mbak Mey, hidup itu kompleks, apalagi di Jakarta. Kalau tidak kuat iman, begitu banyak godaan dengan menjadi manusia penghuni Jakarta. Orang gampang tergiur kalau urusannya sudah barang barang branded, apalagi cewek cewek, tidak banyak yang seperti mbak Mey..”, goda Mas Arief kala itu.
Tapi benar, aku bersyukur lahir di sebuah desa kecil yang masih kuat menjaga prinsip. Di desaku, tidak ada tempat dugem, tidak kenal barang barang branded. Rumah masih rata rata rumah panggung khas batak, tidak ada yang peduli dengan merek LV atau Charles Keith. Namun urusan pendidikan, orang tua dikampungku nomor satu. Mereka rela hanya makan garam dan nasi, bekerja keras diladang demi anak anaknya bisa menempuh pendidikan yang tinggi.
Rumah boleh berlantai tanah, bangunan triplek tapi anak anak hampir semua punya pendidikan tinggi, meski ada sebagian yang hanya lulus SMU dan memilih tinggal di kampung, mereka bukan penganggur sejati, mereka juga masih memiliki kegiatan seperti ke ladang atau sekedar mencari ikan di danau toba.

Kantor sedang sibuk dengan jadwal deadline yang mepet, anak anak belum ada yang pulang dari kantor meskipun jam sudah berputar meninggalkan angka delapan malam. Yang paling sibuk Mas Bimo, bagian advertising merangkap design grafis, beberapa kali desain covernya dia ditolak oleh Pak James dengan alasan kurang “klik”, belum lagi deringan telpon bernada marah marah dari kekasihnya yang bernama Lintang, yang sudah beberapa kali malam minggu tidak diapeli.
Untuk urusan satu ini, kadang kadang anak enaknya menjadi jomblo sementara, bukan jomblo akut seperti aku..poor me. Tapi teman teman tidak tahu aku sebenarnya jomblo, itu karena aku memiliki “penelpon setia”, si bapak polisi yang bahkan aku belum pernah bertemu muka sama sekali.
Hubungan komunikasi kami layaknya orang pacaran, doi menelpon bisa berkali kali dalam sehari.
Namanya Ringgon, asli Doloksanggul. So far aku merasa nyamanlah dengan lelaki ini, dia bisa menjadi tempat curhat apa saja.
Tiba tiba….hp Mas Bimo berbunyi, wajahnya pucat seketika.
“Mas Arwi, pingsan di jalan…”, tanpa banyak basa basi Mas Arief, mengajak Mas Apri OB dikantor ke mobil menjemput ke daerah Senayan.
Kami melanjutkan pekerjaan, aku menulis berita yang akan dikumpulkan, sementara Mbak Ratih, sibuk memilah milah berita yang akan dimasukkan edisi kali ini. Bu Asih seperti biasa mengurusi masalah keuangan, sejam kemudian Mas Arief dan Apri balik ke kantor, dibelakangnya Mas Arwi tergopoh gopoh.
“Sialan banget Mas Arwi, orang lagi capek deadline malah dikerjain…”, Mas Apri dengan wajah kesal.
Aku penasaran “,Lho memangnya kenapa?”.
“Nyebelin nih orang, bukan sekali dua kali aja berulah, harusnya belajar kita dari pengalaman. Dikirain bener bener pingsan, malah lagi enak enaknya makan soto tangkar, nyuruh kita yang bayarin lagi…”.
Aku mendelik kesal. Kesal ku sebenarnya tak terkira pada pria tambun ini, kalau saja tak menyadari dia sedang sakit parah menderita APS, ingin rasanya kumaki habis habisan.
Kalau bukan karena dia, aku tidak akan pernah akan menginjakkan kaki di kota berpenduduk padat ini. Kalau bukan karena kata kata bullshitnya, aku tidak akan pernah meninggalkan kota Yogya yang nyaman.
“Jadi tadi maksudnya pura pura sakit karena nggak ada ongkos pulang?”, nada suaraku yang kesal tidak  bisa dibendung lagi.
“Iya, malah enak enakan makan, berani banget lagi nggak punya duit..”,  Mas Bimo tak kalah kesalnya.
“Nah Mas Arwi, kalau teman teman tidak datang?, gimana Mas Arwi bayar makan?”, nada suaraku yang meninggi tak mampu kusembunyikan.
“Itulah karena aku percaya kalian semua sahabat sahabat sejatiku, tidak akan pernah membiarkan saudara kalian tertimpa kesulitan..”, Sambil merangkul Mas Bimo dang Mas Arief yang langsung menghindar.
Semua saling berpandangan dan geleng geleng kepala.
Soal ulah Mas Arwi yang “ajaib” ini memang bukan hanya sekali dua kali terjadi, seolah sudah menjadi hal yang biasa dalam hidupnya, menggantungkan hidup pada orang lain dengan mengandalkan penyakit APS yang dideritanya. Oke, aku sepakat orang sakit perlu dikasihani, tapi kalau sakit selalu dijadikan alat untuk memanipulasi dan mendapatkan belas kasihan orang lain, aku sangat tidak sependapat.
Dari kisah teman teman yang sudah mengalami suka dukanya berteman dengan Mas Arwi, teman teman bercerita, banyak DUKANYA..terutama Mas Arief yang idealis dan penyabar.
Mas Arief pernah cerita kalau awal mula diajak gabung menjadi wartawan Gaung Demokrasi, Mas Arwi mengajukan syarat minta dijadikan sebagai Dewan Eksekutif Redaksi dengan gaji setingkat diatas redaktur. Mas Arief mengalah meski secara teknik menulis lebih mumpuni, maklum masih jebolan redaktur salah satu terbitan ternama ibukota. Mas Arief sempat berbagi kisah suka dukanya menjadi wartawan di media tersebut.
“Bayangkan mbak Mey, aku lulusan UGM dengan ip cumlaude, awal bekerja masih harus ditraining di gudang, waktu itu aku bingung kenapa ditaruh digudang, aku mau ngapain..pada saat redaksi senior bertanya beberapa hari berikutnya “apa yang sudah kamu dapat?”, aku jawab “tidak tahu”, seniorku menjawab “,itulah yang sesungguhnya terjadi, berita tidak akan ada kalau kita terus di ruangan. Berita ada diluar sana, kejar dan cari yang berkualitas, jadi nda ada istilah kita langsung kita dikasih jabatan begitu kita sudah menjadi bagian dari mereka..”, kenang Mas Arief beberapa waktu yang lalu. Aku hanya manggut manggut.
Berbeda dengan Mas Arief, justru si gendut Arwi sangat haus kekuasaan, dia selalu merasa senior dan selalu mengatur.
Kalau ingat, betapa orang ini juga sempat menipu aku, aku sangat kesal.
Tapi disisi lain aku bersyukur, tanpa beliau aku tidak akan kenal dengan sosok sebaik Mas Arief, Mas Bimo, Bu Asih yang keibuan, dan sahabat sahabat yang lain di kantor.
Sosok yang tak kalah nyentrik adalah Mas Donny  yang orang IT, cerdas namun penyuka cowok. Sangat tergila gila pada “Afgan” Bimo. Mas Donny selalu menyebut Mas Bimo dengan sebutan si ganteng. Awalnya aku sangat ketakutan kenal dengan Mas Donny, aku selalu menghindar kontak dengan makhluk gembul nan kemayu itu.
Pasalnya, aku rada trauma membaca artikel di majalah tentang pria yang suka pada sejenisnya cenderung posesif dan menakutkan, ditambah lagi kasusnya Ryan tukang jagal dari Jombang nan fenomenal…hiiiii…seram.
Ternyata setelah kenal lebih jauh, Mas Donny jauh dari kesan sangar dan posesif. Justru sangat lembut dan penuh kasih sayang, lucu, apalagi saat menggoda Mas Bimo. Mas Bimo yang awalnya juga ketakutan berkenalan dengan Mas Donny lama lama   mulai membuka diri, malah kadang balas meladeni candaan Mas Donny. Lama lama kami menyebutnya dengan panggilan “mami dendong”.

Komentar

Postingan Populer